Senin, 30 September 2013

"Kalau Gede Kamu Mau Jadi Apa?"



Waktu itu saya kelas 5 SD, sahabat saya, Dian bertanya sambil mengunyah cemilan, "kalau besar, mau jadi apa?" dan saya dengan percaya dirinya menjawab "oh, mau jadi fashion designer!" widih, jelas ini pengaruh sehabis nonton The Devil Wears Prada. Mungkin dari 5 anak perempuan berumur 7-10 tahun, 3 di antaranya akan menjawab hal yang sama, mengingat fashion designer terlihat seperti cita-cita yang sangat indah, tujuan yang glamor, potongan kain dengan ragam warna, kehidupan menyenangkan bersama model-model, dan tentunya, kepercayaan diri yang melimpah saat berjalan dan bisa membuat orangtua bangga.

Nah, sekarang saya bisa merasakan tamparan halus di wajah saya. Tidak akan membuat saya meringis dan pusing tujuh keliling, tapi cukup untuk membuat saya merenung lama sekali. Umur saya sebentar lagi 17 tahun, sebentar lagi saya akan lulus SMA (amin ya!), dan pertanyaan "nanti mau jadi apa?" "lanjut kuliah di mana?" "mau ikut SNPTN?". Tidak harus melakukan pengandaian, atau kata 'kalau gede'. Karena sekaranglah waktu di mana saya harus mengambil keputusan, mengambil keputusan adalah salah satu tugas seorang dewasa, benar? Tapi jawaban fashion designer tidak lagi muncul di kepala saya. Bukan juga dokter (yah berhubung memang tidak pernah mau jadi dokter.) Bahkan, tidak ada sama sekali yang bisa saya jawab.

Saya menganggap ini masalah serius. Guru-guru, orang-orang dewasa akan menganggap saya masih anak kecil karena tidak bisa menentukan ingin jadi apa saya nanti. Kemudian, setelah lulus SMA nanti, saya akan mengambil jurusan apa di perkuliahan jika tidak tahu ingin menjadi apa? Saya mencari tips di mana-mana untuk mengetahui cita-cita kita (aneh kan?). Katanya, tuliskan apa hobimu!


masih belum ada ide mau jadi apa dengan hobi se...biasa itu. Saya iri dengan teman-teman yang sudah tahu ingin menjadi apa karena mereka sudah tahu di bagian mana mereka harus benar-benar belajar agar cita-cita mereka lebih mudah diraih. Sedangkan saya? Saya tidak bisa memaksimalkan apapun, semuanya kabur dan penuh kabut. Saya hanya menjalani hidup saya tanpa jadwal, merasa seperti saya hanya akan hidup hari ini dan tidak bisa mencapai masa depan dengan kedua mata saya. Membingungkan. Saya tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki kepercayaan diri, hanya betah di zona amannya sendiri, tidak bisa mengambil keputusan dan pada akhirnya, pertanyaan "mau jadi apa kamu?" adalah pertanyaan paling sulit yang harus saya jawab sesegera mungkin.

Akhirnya setelah merenung lama di kamar. Saya menyadari deretan buku, novel dengan bau kertas yang khas. Kecintaan saya pada menulis, membaca novel dan menciptakan karakter, mengkhayalkan setiap kejadian demi kejadian di kepala saya bisa saja menjadi bekal untuk menjadi sesuatu. Novelis. Tapi apakah saya harus menempuh pendidikan sastra? Haruskah saya mengambil pendidikan jurnalisme? Mungkin akan banyak sekali orang yang tidak setuju dengan pernyataan saya yang ini ;
"JURNALISME DAN JURUSAN SASTRA TIDAK BISA MENJAMIN SAYA DI MASA DEPAN."

mohon jangan tersinggung bagi mereka yang menganggap sebaliknya. Tapi saya punya penjelasan. Saya tidak menganggap jurnalis atau sastrawan adalah pekerjaan tidak menentu dan tidak menjanjikan. Tapi saya melihat diri saya, saya mungkin tidak berbakat di bidang menulis, saya hanya bermodal suka dan cinta! Tolong jangan membuat saya naif dengan berkata cinta adalah hal terpenting dalam bekerja. Memang benar, tapi bisakah bertahan di pekerjaan/pendidikan apabila kemampuan sangat kurang dan tidak mampu keep up? Kata "jika kamu bisa, kenapa saya enggak," dulu pernah membuat saya buta, tapi akhirnya saya sadar, kadang-kadang saya harus menerima limit saya, menerima kemampuan saya yang tidak bisa mencapai tingkat itu. Nah, jika suatu saat, saya menjadi sarjana sastra, membuat buku tapi pada akhirnya saya tidak bisa membiayai hidup saya dengan buku itu, saya harus menyelamatkan diri saya kemana? Benar, saya memang pengecut.

"SAYA TETAP MAU MENJADI PENULIS!"

Saya  akan tetap ingin menjadi novelis, saya akan tetap menulis, mencintai menulis. Tapi saya masih bisa mengambil jurusan Management, atau Bisnis di kuliah nanti. Karena, kedua jurusan itu menurut saya, AMAN. Jadi, saya bisa tetap menulis, walaupun saya bekerja di perkantoran, mendukung keuangan keluarga dan bisa membiayai hidup saya sendiri. Haha, cari aman, bos :)


-